Jumat, 08 Oktober 2010

Pertambangan Batu Mangan di NTT


 
 
Pertambangan Batu Mangan di NTT

Kualitas batu Mangan dari NTT termasuk yang terbaik di dunia, dan jumlah yang terukur saat ini cukup untuk penuhi kebutuhan Indonesia serta Korea Selatan selama lima puluh tahun mendatang. Hal ini disampaikan seorang pejabat kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat berkunjung ke Kupang akhir 2009 lalu. Ini kabar baik atau buruk bagi rakyat NTT? Tampak banyak jawaban negatif. Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur (DPRD NTT) mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan seluruh proses eksploitasi mangan di daerah tersebut, sampai ada regulasi (peraturan daerah) di tingkat provinsi yang mengatur hal ini. Namun, sementara tuntutan tersebut dikemukakan, proses eksploitasi terus berlangsung dengan berbagai dampaknya. Regulasi yang menjadi pegangan sekarang adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penambangan Mineral dan Batubara dan peraturan daerah atau keputusan pemegang wewenang di level pemerintahan daerah kabupaten. Regulasi di tingkat kabupaten ini mengatur hal yang lebih spesifik seperti batas minimal harga komoditi, ijin usaha penambangan (IUP), dan lain-lain.
Persoalan-persoalan
Hasil sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh LSM Simpul Demokrasi Belu baru-baru ini menyebut empat poin dampak positif dan dua puluh tiga poin dampak negatif dari pertambangan mangan, disertai sejumlah rekomendasi kepada pemerintah (lihat di: http://www.simpuldemokrasi.org/news_detail.php?nid=68). Di sini penulis tidak merincikan kembali satu per satu hasil FGD tersebut. Beberapa poin di bawah ini coba merangkum persoalan yang ada, yaitu; pertama, aktivitas penambangan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Di banyak tempat di pulau Timor, bebatuan berfungsi sebagai tangkapan air hujan yang kemudian bermanfaat menyediakan sumber air bersih bagi penduduk. Penambangan mangan dikhawatirkan mengganggu daya tampung alam terhadap air hujan, sehingga mengganggu juga pasokan kebutuhan akan air.
Kedua, kondisi kesejahteraan rakyat tidak mengalami perubahan setelah penambangan dilakukan secara masif selama beberapa tahun terakhir. Ada manfaat jangka pendek berupa tambahan penghasilan, namun jumlahnya tidak cukup buat penuhi kebutuhan hidup, dan berdampak buruk dalam jangka panjang. Angka kemiskinan di NTT tetap tinggi, dan masih tergolong provinsi yang paling miskin atau terbelakang. Ketiga, hal-hal terkait ketenagakerjaan, seperti kesehatan dan keselamatan kerja, keberadaan pekerja anak, pendidikan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan rakyat mengenai obyek kerjanya, pengupahan, dan lain-lain. Keempat, dampak-dampak sosial budaya di tengah masyarakat, seperti meningkatnya persaingan disertai pudarnya semangat gotong royong, bergesernya sumber penghidupan masyarakat dari bertani menjadi “penambang tradisional”, dan lain-lain.
Disadari, persoalan-persoalan tersebut tak diatasi hanya oleh regulasi yang dibuat di tingkat daerah. Namun sebagai upaya menciptakan kondisi yang lebih baik, langkah (pembuatan regulasi) tersebut dapat kita manfaatkan sebagai sebuah “tahapan” yang diposisikan sesuai dengan kapasitasnya. Artinya, pembuatan dan pengesahan sebuah peraturan daerah tingkat provinsi, dan atau berbagai peraturan daerah tingkat kabupaten, tidak menjamin proses yang lebih sehat dalam pemanfaatan kekayaan alam. Acuan terbaik seharusnya [sic] adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun keadaan yang baik itu (menjadikan pasal 33 UUD 1945 sebagai acuan) tidak sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
Mangan dalam perekonomian
Batu mangan berguna sebagai bahan baku industri, seperti untuk pembuatan baterai, keramik, bahan kimia, dan baja. Namun saat ini mangan paling banyak digunakan untuk kebutuhan industri baja yang penggunaannya mencapai 90% (Majalah Tambang, 3 November 2008). Kandungan mangan dapat menghasilkan baja dengan kualitas bagus, yaitu lebih kuat dan ringan dibandingkan baja dari bahan mentah lain. Kualitas demikian membuat batu mangan menjadi bahan baku paling banyak dicari oleh kalangan industriwan baja akhir-akhir ini. Sebagaimana diketahui, industri baja merupakan salah satu industri dasar (hulu) yang sangat dibutuhkan, baik untuk kebutuhan konstruksi, elektronik, otomotif, dll. Negara yang pembeli mangan terbesar di dunia saat ini adalah Tiongkok dan India. Sementara produsen terbesar adalah Ukraina dan Afrika Selatan. Kedua negara tersebut menguasai sekitar 80% cadangan mangan dunia.
Eksploitasi mangan perlu juga dilihat dalam skema perkembangan ekonomi-politik global dan nasional. Sejak penaklukkan “Barat” terhadap “Timur”  (kurang lebih antara abad 16 sampai abad 20), tercipta keadaan yang disebut kolonialisme atau penjajahan. Sistem ini berupaya menguasai sebanyak mungkin tenaga kerja, pasar, dan bahan mentah dari negeri-negeri jajahan untuk diperdagangkan, yang kemudian berlipatganda keuntungannya di negeri-negeri penjajah. Eksploitasi bahan mentah dari negeri terjajah oleh negeri penjajah terus berlanjut dalam penampakan yang berganti dari sebelumnya, namun sama dalam hakekat. Pemerintah di negeri ex-jajahan diberikan ‘kedaulatan’ secara politik, tapi tetap menciptakan ketergantungan (sebagai syarat eksploitasi) terhadap ekonomi asing. Pentingnya komoditi mangan saat ini mungkin sebanding dengan palawija diburu-buru oleh VOC pada masa lampau.
Fungsi strategis bahan baku mangan belum tergantikan oleh bahan lain, sehingga masih akan terus dibutuhkan oleh industri. Namun kondisi industri saat ini tidak menjamin kestabilan produksi akibat krisis periodik dalam sistem kapitalisme, sehingga juga tidak menjamin kestabilan harga bahan mentah. Ada perspektif lebih maju untuk memanfaatkan pasar dalam negeri dengan pembelian langsung misalnya oleh industri baja milik negara. Namun hal ini tidak ada dalam skema rencana industrialisasi dari sebuah pemerintahan neoliberal. Sejauh ini Indonesia hanya memiliki satu pabrik baja yaitu PT. Krakatau Steel (dibangun pada masa Soekarno) dan sudah berada dalam daftar privatisasi. Pasokan kebutuhan baja sebagian besar masih dari luar negeri seperti India dan Cina. Tak heran, di berbagai daerah masih terjadi kelangkaan produk baja sehingga harganya menjadi sangat mahal.
 


NTT dalam pertambangan

Menilik situasi perekonomian di atas, kita perlu belajar dari kasus-kasus pertambangan di daerah lain. Ekspansi kapital pertambangan ke kepulauan NTT tergolong baru dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bisa dikatakan tak ada perusahaan raksasa tambang yang beroperasi di NTT sebelum liberalisasi dimulai tahun 1998. Jenis usaha atau industri yang berkembang pun lebih banyak pada industri jasa, seperti kontraktor, pariwisata, perdagangan hasil bumi, dan sejumlah kecil percetakan. Paling banter singgungan pada pertambangan lewat usaha kontraktor yang melakukan galian C (batu dan pasir) untuk bahan campuran bangunan atau jalan. Demikian halnya satu-satunya industri besar yang merupakan aset milik pemerintah daerah adalah PT. Semen Kupang yang memasok kebutuhan di daerah. Perusahaan daerah ini mulai bangkrut sejak masuknya produk semen Tonasa dan Gresik.
Pasca 1998, terutama seiring berlakunya Undang-Undang Penanaman Modal, mulai banyak perusahaan besar masuk dan mencari peluang keuntungan pada berbagai bidang ekonomi, terutama yang terkait dengan keberadaan sumber daya alam. Beberapa perusahaan asal Jepang berinvestasi di bidang kelautan, seperti budi-daya mutiara, rumput laut, penangkapan ikan, kemudian pembelian dan penjualan ikan. Meski belum sepenuhnya menggusur kekuatan ekonomi lama, perusahaan besar lainnya mulai masuk ke perdagangan komoditi pertanian dengan menjemput langsung ke tangan petani. Sementara pada bidang pertambangan, eksplorasi dan eksploitasi telah dilakukan pada marmer, pasir besi, minyak bumi, gas alam, emas, dan mangan.
Persoalan-persoalan seperti disebutkan pada awal tulisan, yang sekarang masih tampak menyerupai gejala, di kemudian hari akan memburuk jika tidak ada perubahan yang fundamental. Pengalaman berbagai daerah lain telah mengajarkan kita untuk tidak mengulang kesalahan. Beberapa contoh bisa disebut, seperti penambangan emas oleh Freeport di Papua, Newmont di Nusa Tenggara Barat, tembaga di Sulawesi Selatan, pertambangan timah di Bangka Belitung, berbagai pertambangan Batubara di Kalimantan, dan lain-lain. Dalam ketiadaan skema industrialisasi nasional yang jelas maka keberadaan pertambangan hanya memperkaya segelintir orang, terutama kapitalis di luar negeri, tanpa meninggalkan nilai tambah apapun bagi rakyat.
Pencarian batu mangan ke NTT akan terus ada dan bertambah dalam beberapa tahun ke depan, bahkan bisa lebih lama. Alasan utamanya sederhana, yaitu pemenuhan kebutuhan industri di negeri Tiongkok dan Asia Timur lainnya (Jepang dan Korea) yang cenderung mencari sumber bahan baku terbaik dan terdekat, dibandingkan harus mendatangkan komoditi tersebut dari Ukraina ataupun Afrika Selatan yang memakan biaya lebih besar.
Pada saat yang sama pemiskinan sistematis dalam sistem neoliberalisme sekarang seperti jebakan pragmatisme bagi banyak orang. Kesulitan ekonomi menggiring orang untuk memilih apapun yang saat ini bisa diperoleh secara cepat, sambil secara sengaja ataupun tidak sengaja meluputkan perhatian dari dampak dan keadaan jangka panjang. Dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama ini, jajaran di kekuasaan pemerintahan daerah tampaknya berada di sisi pragmatisme tersebut. Contohnya bisa dilihat dari penentuan harga jual batu mangan yang sangat murah oleh pemerintahan daerah. Di tingkat penambang rakyat saat ini, bahkan, harga batu mangan per kilo bisa jatuh sampai tiga ratus rupiah per kilogram. Dalam ketidakberdayaan rakyat, situasi ini cenderung diterima hanya dengan advokasi yang minimalis dari para pemerhati, baik itu aktivis mahasiswa atau LSM tertentu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar